Tembok Besar, Merpati, dan Jahe Merah

Setelah para seniman residensi datang dari berbagai kota, pada tanggal 20 November 2020, kami beranjak ke lokasi-lokasi yang akan kita soroti dalam rangkaian Tenggara Street Art Festival. Dari Rumah Tamera (pusat kegiatan) saya dan beberapa kawan berangkat menuju Lapas Klas IIB Kota Solok. Mereka adalah Andang Kelana, Autonica, Dhigel, Verdyan Reyner, Masoki, Teguh, dan Vero. Ini bukan kunjungan pertama saya. Beberapa bulan sebelumnya, saya ke sini bersama kawan-kawan Rumah Tamera untuk mendengar kemungkinan untuk bekerjasama. Ketertarikan ini muncul mengingat agenda Tenggara Festival tahun ini adalah menyoroti ruang-ruang publik atau instansi yang selama ini sulit dijangkau, dalam konteks publik Solok. Beruntung kami punya salah satu teman bekerja di sini.

Dia adalah Rahmat Andhika atau yang biasa kami sapa Dadung. Ia merupakan petugas jaga yang sudah bekerja di sini sekitar 8 tahun. Usianya sekitar 30an, di luar Lapas, saya mengenalnya sebagai salah seorang yang sering terlibat dalam skena bawah tanah di Kota Solok. Ia menjadi drumer untuk banyak band underground di Solok, selain itu ia juga punya ketertarikan pada motor costum dan D.I.Y. Mungkin karena ia masih muda dan memiliki kedekatan dengan banyak pegawai dan napi, ide kami untuk berkunjung pun ditanggapi dengan baik oleh Kepala Lapas.

Waktu itu, kami diterima oleh Kepala Lapas, Bapak Andi Mulyadi, untuk berbincang-bincang tentang rencana program residensi ini dan apa-apa yang ingin kami capai. Pak Andi, belum cukup satu tahun bekerja di lapas ini. Ia mulai mengabdi di sini sejak Januari lalu. Ia menyadari ada sejumlah PR untuk membuat lapas ini menjadi ruang pembianaan yang baik, dan ia menanggapi niat kami dengan baik. Ia senang kalau warga binaanya menjadi dekat dengan lingkungan kreatif. Ia juga memperlihatkan beberapa karya tangan warga binaan, mulai dari kriya kulit, kayu, dan beberapa pajangan lain. Ia meminta Dadung menemani kami untuk melihat-lihat kondisi Lapas dan merasakan suasananya.

Suasana ladang Lapas Klas IIB Kota Solok.

Siang kami bersama Dadung melihat beberapa studio workshop di sana. Kami terus menuju bagian belakang melewati kamar tahanan dan area santai warga binaan. Ternyata di belakang ada area yang cukup luas dan dikelilingi oleh pagar tembok yang tinggi. Di atas pagar dikelilingi kawat-kawat dengan dialiri listrik untuk mencegah para tahanan melarikan diri. Dadung bercerita tentang beberapa pengalaman bekerja di sini. Ia ingat salah satu tahanan sempat kabur dari sini, namun biasanya selalu tertangkap kembali. Salah satu cerita yang paling berbekas adalah tahanan yang mencongkel dinding kamarnya dengan sangat sabar, pasir cukilan ia baurkan dengan sampah sisa makan, dan dinding itu ia tutupi dengan poster iklan layanan masyarakat dilarang buang sampah sembarangan. Namun peristiwa itu menjadi pelajaran penting untuk lebih waspada.

Dia area belakang yang luas tadi, terdapat sebuah lapangan besar. Lapangan itu digunakan untuk permainan futsal dan beberapa olah raga lainnya. Di sekitar sana juga terdapat ladang yang cukup luas. Ladang itu cukup produktif, ada terong, sayur-sayuran, buah, dan pohon-pohon kecil. Di sekitar area lapang itu juga terdapat beberapa studio workshop. Kami cukup lama santai di sana dan menyimak aktivitas para warga binaan. Ada yang tengah mengotak-atik motor dan membangun motor custom, di luar sana sebelumnya mereka adalah pekerja bengkel dan beberapa adalah pembalap.

Suasana lapangan olah raga dan dinding pagar Lapas Klas IIB Kota Solok

Di sini mereka juga punya kesempatan untuk mengasah kemampuan lain. Selain itu juga ada yang sibuk membangun “speaker aktif”, dan masak dari hasil kebun di sana. Sambil santai kami juga melihat banyak merpati beterbangan, keluar masuk melampaui sekat tinggi yang memisahkan dengan warga binaan dan kesibukan kota itu. Dan sepertinya ia sudah betah di lingkungan lapas ini, tanpa berebut ruang. Siang itu kami mendapat sedikit buah tangan, Jahe merah buatan lapas. Jahe ini diproduksi di lapas ini dan dijual di pasar dengan nama Jahe Merah Laing. Dan jahe ini pun cukup populer oleh warga Kota Solok. Aktivitas warga lapas ini, bagi saya dan kawan-kawan lain sebelumnya sangat asing. Sekilas ia juga seperti sekolah dan tempat bersemedi dari beban-beban di luar sana. Tapi mungkin ada juga yang sibuk memikirkan keluarganya di luar sana.

Dari kunjungan beberapa jam itu, saya dan kawan-kawan sangat tertarik untuk memilih lokasi ini sebagai salah satu lokasi program residensi Tenggara Festival. Kami kira kehadiran gambar di dinding pagar itu bisa mengisi kekosongan narasi di sekat hiruk pikuk dunia luar itu. Demikian kami menyampaikan itu kepada Kepala Lapas dan ia mempersilahkan. Kami pun meminta Kepala Lapas mengizinkan beberapa warga binaanya untuk berkolaborasi dengan para seniman nantinya.

Dalam kunjungan kali ini saya dan kawan-kawan membawa kawan-kawan seniman untuk melihat kembali lokasi ini. Ditemani Dadung dan temannya, Renold, kami dipertemukan dengan beberapa kawan-kawan warga binaan. Ternyata salah satu diantaranya adalah teman saya. Kami sudah lama pula tidak bertemu. Ia dulunya adalah mahasiswa seni rupa, dan tersandung kasus narkoba hingga dibawa ke lapas ini. Selain itu ada tato artist, dan mereka yang tertarik untuk mempelajari seni mural. Kami berbincang tentang sejumlah persoalan teknis, aturan, protokol kesehatan, dan tujuan-tujuan festival ini. Berharap hal ini dapat direalisasikan dengan baik.

Written by:

Writer, art curator, and founder of Gubuak Kopi Community

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

X