Mewarnai Taman Pramuka yang Murung
Seperti tahun sebelumnya Taman Pramuka menjadi pilihan kami sebagai pusat kegiatan. Dalam rangkaian Tenggara Street Art Festival, lokasi ini menjadi lokasi puncak untuk program publik, sesi gambar bersama. Beberapa waktu lalu, saya menemui Uda Rio, salah seorang pemuda yang cukup aktif mengelola ruang ini untuk berbagai kegiatan. Da Rio menyambut kegiatan kami dan tentu mengingatkan tentang pentingnya menjaga protokol kesehatan serta menghormati aturan lokal.
Walaupun tidak terlalu jauh dari Rumah Tamera, tapi sebenarnya kita pun tidak terlalu sering mampir ke lokasi ini. Karena memang ternyata pagarnya masih sering tertutup dan terlihat tidak dibuka untuk umum. Kondisi berbeda sekali dengan pulau Belibis. Walau masih dalam satu lingkungan, Taman Pramuka dan Pulau Belibis dipisahkan oleh satu telaga. Telaga yang selalu dikisahkan para orang tua sebagai tempat singgah kawanan belibis. Namun sekitar dua puluh tahun terakhir, burung-burung itu tidak mampir lagi.
Taman Pramuka kini dikelola oleh Dinas Pariwisata Kota Solok. Dari narasi Uda Rio dan yang berkembang di kalangan warga, tanah ini sebenarnya milik salah seorang tokoh masyarakat yang dihibahkan kepada Pramuka. Namun, entah bagaimana kini dikelola dinas dan jadi lebih sering ditutup. Dalam ingatan saya, dan juga diakui oleh banyak orang di sini, lokasi ini sering kali diidentikkan sebagai tempat remang dalam konotasi negatif.
Tahun lalu kami juga membuat agenda mural bersama di lokasi ini. Sekitar 50 street artis tahun lalu kita undang ke sini untuk mewarnai ruang publik ini. Gambar-gambar itu masih awet dan masih cerah. Hanya saja ada 3 dinding pagar yang hancur karena longsor akibat timbunan tanah sisa pembangunan mushala di pekarangan Taman Pramuka ini. Baru-baru ini juga membangun sebuah tower dan pentas permanen di lokasi ini.
Pentas ini dulunya ada semacam rumah singgah namun terasnya kini dijadikan pentas. Tidak begitu bagus sebenanrya, mungkin karena posisi pentas tidak begitu strategis. Kira-kira kurang dari 8 meter dari sisi depan pentas terdapat tiang lampu yang sangat besar dan beberapa pohon. Jadi jika penonton ramai dan agak jauh akan terhalang oleh pemandangan itu, termasuk kabel yang melintang. Barang kali garapan lokasi ini belum sepenuhnya selesai. Bangunan Pondok Singgah menjadi sebelumnya menjadi background panggung. Secara visual rasanya tidak begitu enak, sehingga kami rasa mencari panggung alternatif disekitaran sini untuk pertunjukan. Beberapa atapnya copot, dan dindingnya terlihat lusuh.
Namun, selama menyimak lokasi-lokasi ini, BDX dan Zakarzzz, duo street artist Rumah Tamera ini tertarik untuk merespon bangunan tersebut sebelum puncak festival pada tanggal 26-28 November nanti. Semacam marking pusat kegiatan. Ia berniat menyumbangkan karyanya untuk bangunan dan festival ini. Ia kemudian juga mengajak Sayhallo dan v.spiz, dua anggota Rumah Tamera lainnya. Mereka membuat sekitar 3 hari dan didampingi Uda Rio dan kawan-kawan pemuda sekitar sana. Setelah selesai tak lupa mereka meninggalkan pesan: “Jika cinta Solok, jangan buang sampah sembarangan.”
–