Masoki: Konsisten pada Pilihan
Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.
Pada sesi ini kami berbincang bersama Masoki, ia adalah seniman visual dari Padang, Sumatera Barat. Ketertarikan dan kesenangannya fokus pada eksplorasi bentuk tipografi, dan pengembangan ornamen dalam karya-karya grafitinya. Ia pernah mengikuti beberapa pameran seni kolektif di Kota Padang dan juga luar kota, seperti Palembang dan Jambi. Di kota asalnya Masoki tidak bergerak sendiri dia tergabung dalam sebuah komunitas seni jalanan yaitu Damn Nasty Cru, sebuah keluarga kecil sesama pelaku seni jalanan.
Dalam Festival Seni Jalanan Tenggara, Masoki terlibat sebagai salah seorang seniman residensi, merespon beberapa lokasi, seperti dinding pagar dan rumah warga di sekitaran Terminal Bareh Solok. Selain itu ia juga sempat mengukir beberapa gambar secara kolaborasi bersama seniman residensi lainnya. Seperti, mobil Bank Sampah milik Dinas Lingkungan Hidup bersama Bujangan Urban, dinding Rumah Tamera – Solok Creative Hub bersama Badik, dan Mini Tabung Milik PDAM Kota Solok di Taman Bidadari.
Pewawancara: Tenggara Festival (Volta A. Jonneva dan Zekalver Muharam)
Rumah Tamera, 1 Desember 2020
—
“KALAU DI TEMBOK, DIA KAYAK LANGSUNG KE PUBLIK GITU, KITA SEPERTI DIPAKSA UNTUK LANGSUNG MEMPUBLIS KARYA, NEGOSIASI KE ORANG. DAN KITA HARUS MENANG GITU, MAKSA ORANG DENGAN STRATEGI MENERIMA KARYA KITA“
—
TF : Selamat datang Masoki di Tenggara Street Art Festival 2020. Bisa perkenalan diri dulu Masoki, menyebut dirinya apa dan seniman apa, kesibukannya apa?
Masoki : Nama saya Oki biasa dipanggil Masoki, kalau menyebut diri sebagai seniman profesional, saya belum berani untuk itu. Kalau kesibukan sekarang, ya Tenggara Festival ini. Sebelumnya masih terus bikin karya, freelance desainer.
Tf : Tapi kami bisa menyebut Masoki sebagai seniman, ya. Apa sih pemicu Masoki untuk terus bikin karya?
Masoki : Ya, pastinya karena hobi gambar. Tapi kalau di grafiti, dia kan di huruf, ya karena ketertarikan sama tipografi. Jadi saya pengen punya karya di grafiti.
Tf : Mungkin Masoki juga bisa ceritakan bagaimana Masoki berkarya dan menemukan karakter karya Masoki saat ini?
Masoki : Pertama kali kenal dan melihat grafiti itu zaman saya SMP, di acara sebuah stasiun televisi. Jadi, acara Hip-hop gitu, battle dance. Jadi ada bettle grafiti juga di sana. Karena sebelumnya juga suka hip-hop. Waktu itu, seru aja lihat orang gambar pakai “pilox” (cat spray) segala macam. Di SMA belum terlalu sering turun ke jalan, karena uang jajan kecil kan, belum bisa buat beli cat. Cuman masih sering bikin sket yang stylenya grafiti, terus “tagging-taggingan”. Di SMA sempat berenti juga nguliknya, pas kuliah masuk desain grafis, di situ belajar lagi tipografi. Jadi pengen lagi membangun style di grafiti, sampai sekarang ya ngulik terus, pengen punya karya di grafiti. Ya, dulu juga tagingan tapi nama “Masoki” itu dulu belum ada. Nama Masoki ini ada baru semenjak kuliah 2012. Itu seperti sudah menemukan sebuah nama yang pas buat dipakai terus.
Tf : Dan kita lihat Masoki kan aktif di dunia grafiti dan akhir-akhir ini selalu menggunakan nama Masoki dan juga dengan elemen-elemennya juga. Kita mau tahu juga kenapa Masoki memilih medium ini untuk berkarya?
Masoki : Apa ya, spiritnya mungkin. Dia bebas tapi seperti punya misi, kebebasan yang bisa kita bilang terarah gitu kalau kita serius. Bisa menghasilkan sesuatu yang lebih, bukan selain beda. Banyak hal lah yang bisa didapatkan di grafiti di street art.
Tf : Secara tidak langsung, dia kan di ruang publik, kalau di seni grafiti mediumnya beragam juga, sedangkan yang lain seperti kanvas dan lain-lain, apa sih yang membedakan medium itu?
Masoki : Kalau di tembok, dia kayak langsung ke publik gitu, kita seperti dipaksa untuk langsung mempublis karya, negosiasi ke orang. Dan kita harus menang gitu, maksa orang, dengan strategi untuk menerima karya kita.
TF : Masoki kan juga berkolektif ya, bagaimana sih keadaan kolektif sekarang dan apa pengaruh kolektif itu sendiri bagi Masoki dalam berkarya, bisa diperkenalkan juga kolektifnya?
Masoki : Kalau secara pribadi, saya punya kolektif namanya DMC crew. Itu beberapa orang yang hobi grafiti terus ngumpul, bikin karaya bareng. Jamming bareng ya kayak crew-crew street art pada umumnya lah. Cuman pentingnya itu kayak sebuah keluarga, ada ayah ibu, tapi di street art gitu. Lebih enak buat jalan sih, rame-rame. Kita kan berbagi ide, semangat, teknik, dan segala macam, termasuk cara berkarya masing-masing. Terus bisa membangun itu di kota kita, itu sih.
Tf : DMC kan belum terlalu lama juga, tapi Masoki sudah kenal juga sebelumnya sama yang lain. Nah, sekarang kan di seluruh dunia ini kita mengalami hal yang sama, pandemi, bagaimana sih pengaruhnya secara Masoki pribadi, finansial mungkin?
Masoki : Kalau finansial, ya, agak sedikit goyang. Kalau berkarya nggak harus beli ini itu, ya, merespon sekitar saja. Nggak terlalu ribet lah dalam berkarya.
Tf : Bagaimana Masoki memposisikan aktivitas sebagai grafiti artis, apakah ia hobi atau sesuatu yang menghidupi atau apa?
Masoki : Saya maunya, ini menjadi bagian. Siapa sih yang nggak mau hidup dari karya. makanya berusaha mencari formula, bagaimana kita bisa hidup dan berkarya tidak terganggu. Biar seimbang gitu.
Tf : Masoki kan sudah lama juga berkarya, apakah ada seniman yang sangat berpengaruh dalam Masoki berkarya?
Masoki : Influence ya, banyak banget terutama dari lokal ya. Ya, kayak Darbotz, Koma Indo, Tuyuloveme… kalau saya sih melihat dan mempelajari mereka berkarya, berpikir, dan dengerin wawancara tentang mereka, jadi di sana kita jadi tahu. Membuat karya jadi sesuatu.
Tf : Walaupun dari karakter karya Masoki dan idola yang disebutkan tadi itu, karakternya sangat berbeda. Di satu sisi Masoki mengidolakan dia tapi lebih ke personalnya mereka berkarya ya. Ya, mungkin secara individu pengalaman Masoki berkarya sudah kita ketahui, atau setidaknya menjawablah. Masoki kan terlibat di Tenggara ini sebagai seniman residensi, nah kenapa dan bagaimana ceritanya bisa ikut di Tenggara?
Masoki : Karena di Tenggara datengin orang-orang luar. Kita butuh link-link baru kan. Dan yang biasanya kita mengenal dari Instagram, Youtube, nah sekarang kan ada di sini. Kan sayang kalau nggak ikut, hahahaha. Terus beberapa orang-orangnya kenal.
—
“VISUAL YANG KITA PUNYA DAN BAGAIMANA KITA MERESPON MEDIUMNYA ITU LAGI, FLEKSIBEL GITU AJA SIH“
—
TF : Sebelumnya kita pernah ketemu di RAS, dan ngobrol juga soal mengajak Masoki ke Tenggara Festival ini. Sebetulnya kita juga melihat karya-karya Masoki sebelumnya. Sekarang kan dapat lokasi mural/grafitinya di Terminal Bareh Solok dan Mobil Bank Sampah, nah, bagaimana Masoki mempersiapkan visualnya untuk kedua itu?
Masoki : Kalau pribadi, saya kayak punya karya utama dan pendukung, jadi nggak ribet juga. Visual yang kita punya dan bagaimana kita merespon mediumnya itu lagi, fleksibel gitu aja sih.
Tf : Nah, sekarang bagaimana pengalam Masoki selama residensi di Tenggara ini, dan kita mendatangkan teman-teman dari luar kota juga. Mungkin ada cerita mengenai itu, sampai Masoki bisa mendapatkan ruang publik hingga ruang privat warga yang kemarin. Pengalaman baru Masoki baik dari segi kekaryaan maupun prosesnya ?
Masoki : Kalau pengalaman luar biasa sih, bisa dibilang secara pribadi ini acara street art terbaik di Sumbar. Bisa ketemu sama orang-orang hebat. Bujangan Urban, Blesmokie, Dhigel dari Jakarta terus Nica dari Jogja, Genta dan Bayu dari Medan, banyak gitu dan dari Padang Juga. Apa ya… kayak dapat hal-hal baru gitu, link-link baru. Dari pengalaman mereka dan apa segala macam. Canggih deh pokoknya.
TF : Mungkin soal rencana project kedepannya gimana Masoki?
Masoki : Ya mungkin bisa terus bikin karya, karyanya bisa memberi dampak lebih, ya, memberi yang baik lah. Nggak mau berhenti lah.
TF : Masoki kan sudah lama di skena street art di Padang, bagaimana Masoki melihat skena itu, di Sumbar dan Solok?
Masoki : Kalau dilihat secara garis besar, di Solok sebenarnya banyak pelaku ada pelaku seninya, cuman mungkin belum terlalu terhubung dan bikin acara bareng. Kalau di Padang saat ini jauh lebih berkembanglah ya, banyak pelaku-pelaku seninya juga sekarang, mungkin juga belum mencoba untuk konsisten.
TF : Ada nggak sesuatu yang ingin Masoki sampaikan, semacam saran dan masukan lah buat Tenggara ini?
Masoki : Mungkin untuk tahun-tahun berikutnya kita butuh lebih banyak tim dan bikin lebih seru. Bukan melihat dari situ sih. Ini awalnya saja sudah canggih ya apalagi kita punya tim lebih banyak, mungkin akan lebih luar biasa.
Tf : Ternyata kita bisa menghidupkan skena itu, dan daerah juga.
Masoki : Ya, kita kan banyak di Bukittinggi, Solok, Padang dan Payakumbuh. Pasti ada pelaku atau sebuah perkumpulan gitu, yang bisa kita ajak dan lebih solid lagi.
TF : Ya, ini pertanyaann juga si buat saya, tahun kemarin kan kita ada kompetisi mural juga, dan Masoki hadir juga di sini, ya meskipun nggak terlibat di sana. Dan melihat karya teman-teman tahun ini di Jamming Session, termasuk residensi juga tahun ini bagaimana?
Masoki : Kalau yang Jamming dibanding dari tahun kemarin sekarang sih lebih prepare lah. Dan yang ikut residensi ya semuanya karyanya keren-keren, spot-spot yang keren juga, di Kodim dan Lapas itu canggih lah pokoknya.
Tf : Ok, terima kasih Masoki, semoga ketemu lagi di Tenggara 2022, semoga lebih besar lagi. Dan mungkin di tahun 2021 kita bakal bikin juga yang kecil-kecilan. Ya, mungkin itu saja bincang-bincang kita hari ini. Terima Kasih Masoki.
Masoki : Sama-sama, sukses terus.
–
Transkrip: Biahlil Badri
–
Mampir ke halaman portofolio Masoki di Tenggara Festival