Autonica Melawan dengan Imut dan Jenaka
Sudah menjadi tradisi bagi Komunitas Gubuak Kopi untuk mewawancarai seniman yang terlibat dalam proyek ataupun kegiatan kita, sebagai bahan belajar. Wawancara ini berupaya untuk mengenal latar belakalang artisitik seniman serta mengumpulkan masukan-masukan untuk Solok, ataupun Komunitas Gubuak Kopi. Wawancara ini dilakukan pada hari-hari terakhir perhelatan Tenggara Festival 2020, di Solok.
Pada sesi ini kami berbincang bersama Annisa Rizkiana Rahmasari, yang juga dikenal dengan julukan Autonica, adalah salah seorang seniman asal Semarang yang berdomisili di Yogyakarta. Ia memiliki ketertarikan di dunia komik, sastra, dan seni visual. Baru-baru ini bersama Gramedia ia menerbitkan buku terbarunya “Jingga Jenaka” (2019). Sebuah buku yang mencakup beragam praktik artisitik Autonica, seperti zine, ilustrasi, dan puisi. Autonica sudah melihat ketertarikannya yang cukup besar pada kreativitas zine sejak sering terlibat di komunitas Hysteria di Semarang. Selain itu Autonica juga sering terlibat dalam berbagai pameran seperti Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) #9, 2018; Jakarta Biennal 2015 – Maju Kena Mundur Kena; Mural untuk Kongres Kebudayaan Indonesia di KEMDIKBUD, 2018; dan lainnya.
Tahun 2020, Autonica berkesempatan hadir di Tenggara Street Art Festival 2020, selama di Solok ia berkeliling dan memilih untuk merespon dinding besar gedung olah raga GOR Tanjung Paku, Kota Solok. Dinding yang akan menjadi media mural itu berkuran tinggi 9×4 meter. Mural Autonica seperti comic, terdiri dari kolom-kolom dan teks bertajuk “Siasat Baru Anak-anak Lauik”. Sebelum Kembali ke Yogyakarta, Autonica juga menyelesaikan sebuah mural bertajuk “Starbabynico dan Ayang Pus” di Rumah Tamera – Solok Creative Hub. Selain mural Autonica juga memandu sebuah workshop pembuatan zine dan menyebarkan semangat D.I.Y untuk remaja Sumatera Barat.
Pewawancara: Tenggara Festival (Anggraeni Widhiasih dan Teguh Wahyundri)
Rumah Tamera, 25 November 2020
—-
“Makanya, saya pengen agar, entah itu karya zine, buku, atau mural dan komik, itu seakan memberhentikan waktu sebentar saja. Agar orang-orang itu berjalan lebih lambat untuk bisa memaknai hal-hal kecil di sekelilingnya”
—-
Tenggara Festival (TF) : Mungkin, pertama Nica kenalin dulu, menyebut dirinya sebagai seniman apa, terkait mediumnya juga, dan nanti juga bisa diceritakan biasanya kesibukannya apa, oke Nica silahkan!
Annisa Rizkiana Rahmasari (Nica) : Halo, perkenalkan nama aku Annisa Rizkiana Rahmasari, aku biasanya dipanggil Nica, aku adalah seorang penulis dan juga seniman visual yang besar di Semarang yang kini lagi tinggal di Yogyakarta. Aku menerbitkan buku pertamaku berjudul “Jingga Jenaka” yaitu buku puisi berilustrasi, pada 2019 kemarin bersama Comma Books dan Kepustakaan Populer Gramedia. Dan sekarang aku lagi sibuk mengerjakan buku kedua, di bawah nama Nica Comica. Tapi sebelum bikin buku aku juga sudah banyak berkarya dengan medium zine, sejak tahun 2011. Maka dari itu aku menyebut diri aku sebagai seorang “seniman visual”. Karena aku berkarya dengan beberapa media selain zine yaitu, karya cetak terus kemudian ada komik dan mural.
TF : Jadi, Nisa kan kalau disebut berkarya sebagai seorang seniman itu sejak tahun 2011, itu berarti kan relatif sudah lama ya. Nah, dari Nisa sendiri apa yang pada awalnya memicu untuk berkarya seni dan terlebih lagi memilih media visual, dan bisa diceritakan juga sampai akhirnya memutuskan juga untuk menulis?
Nica : Oke baik, sebetulnya kenapa aku memilih jalan sebagai seorang seniman yang sekarang ini. Karena sederhana saja, sejak kecil aku suka menggambar terus waktu 2011 itu aku menemukan bahwa zine bisa memfasilitasi kegemaran saya menggambar, mengarsip menulis, membaca dan membuat komik, seperti itu. Jadi, aku menemukan zine ini selain sebagai media yang mudah dan juga murah dibuatnya dia menjadi disiplin yang serius bagi perjalanan karirku dalam dunia seni. Dan membuat aku yang sebelumnya hanya pada individu ke individu lain, kemudian membawa saya padahal yang lebih serius lagi seperti, pameran seni, festival zine, dan bagaimana pengetahuan saya pada media alternatif saya turunkan lagi ke generasi yang lebih muda. Oooh iya, bagaimana akhirnya sampai ke seorang penulis, itu agak misterius dan beruntung ya, hahaha. Jadi pada tahun 2018 saya sedang mengikuti pameran ICAD ke-9 yang bertemakan “Kisah”. Di pameran itu mengangkat kisah banyak seniman di Indonesia. Di sana saya tidak sengaja bertemu dengan kurator penerbit saya dari Koma Books. Kemudian kami berdiskusi di situ, dia melihat naskah yang kebetulan selalu saya bawa ketika saya pergi ke luar kota. Terus kurator ini menawarkan saya, ”apakah kamu mau membuat buku?” tentu saya bersemangat sekali membuat buku, nah dari situlah perjalan saya sebagai seorang penulis dimulai.
TF : Kalau misalnya kita lihat, karya visual Nica kemudian kita beralih ke buku, yang mana buku itu isinya adalah puisi dan ilustrasi. Nah di situ kan kita bisa melihat warna yang sama dalam artian, warna itu, corak visualnya juga gitu. Proses Nica sendiri sampai kemudian tiba di karakter visual seperti itu bagaimana. Nah kalau kita lihat garisnya Nica dari 2011 itu kan garisnya mengalami perubahan tuh. Nah proses Nica sendiri sampai di garis yang seperti sekarang ini bagaimana sih?
Nica : Betul sekali, itu pertanyaan yang bagus sekali buat saya, karena sebetulnya bagi saya sendiri, saya itu selalu merasa saya tumbuh dengan karya saya. Jadi, ada dinamika tersendiri ketika saya membuat karya garis yang kemudian lahir pada tahun 2011 itu. Kemudian melunak menjadi sesuatu yang lebih dewasa dan sederhana. Saya justru menemukan kedewasaan dalam kesederhanaan garis-garis yang ada dalam gambar saya. Jadi, tahun 2011 itu karya saya lebih banyak yang hitam-putih. Dan saya lebih banyak menggunakan pena. Belum berwarna sama sekali. Kemudian, saya menemukan bentuk karya yang baru, menciptakan karakter yang baru, sehingga saya lebih nyaman dalam proses menggambarnya. Pada tahun 2017 saya mulai belajar Photoshop, jadi sebetulnya, saya baru bisa Photoshop itu baru 3 tahun yang lalu, hahaha. Jadi, setelah saya menemukan medium baru untuk berkarya, saya mulai bisa memberikan warna untuk karya saya. Jadi lebih tahu caranya. Ya, saya tuh banyak bertumbuh dengan karya saya, jadi memang ada proses yang lama sekali. Di buku Jingga Jenaka pun ada karya-karya tulisan yang sebetulnya sudah selesai pada tahun 2012, tapi pada saat itu karya-karya itu belum menemukan’ ‘rumahnya’. Nah, makanya di buku Jingga Jenaka itu, buku ini menjadi ‘rumah’ bagi banyak catatan-catatan dan perjalanan. Dari yang tahun 2012 sampai tahun 2019 yang terbaru.
TF : Nah, kalau Nica sendiri kan sebetulnya dalam berkarya itu lebih ke individual ya, maksudnya nggak ada kolaborasi ya sama kolektif, setahu aku. Cuman, kebanyakan itu individual dan personal. Nah kalau Nica sendiri saat membuat karya visual atau pun menulis sebetulnya apa sih ‘isu’ yang sering Nica taruh dalam karya tulisan maupun visual.
Nica : Oooh… iya, saya selalu merasa bahwa sebagai orang dewasa, bahwa orang dewasa itu akan banyak menjumpai kesedihan dalam perjalanan hidupnya. Kehidupan orang dewasa lebih cenderung hitam-putih, tidak seperti kita kecil. Dari situ saya pengen dari karya saya itu sejatinya dapat memeluk setiap pembacanya. Saya banyak fokus pada tema kebaikkan hidup, kasih saya, kecintaan saya pada hal-hal kecil, dan hal-hal yang kalau misalnya kita gak ‘pelan-pelan’ akan terlupakan begitu saja. Makanya, saya pengen agar, entah itu karya zine, buku, atau mural dan komik, itu seakan memberhentikan waktu sebentar saja. Agar orang-orang itu berjalan lebih lambat untuk bisa memaknai hal-hal kecil di sekelilingnya. Jadi, saya selalu merasa karya saya itu seperti jangkar bahkan untuk saya sebagai orang dewasa yang hidup dalam segala sesuatu yang serba cepat.
TF : Ada nggak seniman lain, pengkaryanya atau karyanya yang kemudian punya pengaruh dalam Nica berkarya, yang salah satunya punya pengaruh dalam Nica berkarya, atau sampai Nica menemukan garis Nica saat ini?
Nica : Terakhir kali ada satu buku yang memang seolah-olah mengubah pandangan aku terhadap dunia ini. Buku “Totto Chan” karya Tetsuko Kuroyanagi. Jadi buku itu memang komplit bagi aku. Ya, melihat dunia dengan sederhana tapi berarti, dan ada satu ilustrator dalam buku itu yang saya suka karyanya Chihiro Iwasaki. Mungkin aku selalu katakan ini pada semua orang yang nanya siapa ilustrator, penulis yang mengubah hidup aku gitu. Dan kebetulan si ibu dari Chihiro Iwasaki ini banyak menghasilkan karya yang terinspirasi dari anak laki-laki beliau. Terus aku juga suka seniman komik kontemporer dari California namanya Yumi Sakugawa. Karyanya memang lebih sentimental, personal, dan spiritual. Salah satu yang saya suka itu judulnya “I Think I am in Friend Love With You”. Terus saya juga suka karya-karyanya Pak Raden, yang menyentuh kisah-kisah lokal anak-anak lewat pewayangan, yang dikemas secara lucu.
TF : Oooh iya, sentuhannya dunia anak-anak.
Nica : Ya, dunia anak-anak di dalam kehidupan orang dewasa, jadi bagaimana kita channeling our in the child be think everyone gitu.
TF : Nah, Nica tuh berkarya berangkatnya dari kertas, ya? dan belakangan ini mungkin dari ICAD itu berpindah ke medium dinding, bagaimana ceritanya?
Nica : Jadi, pada tahun 2015 itu, aku ikut Pameran Jakarta Biennale… jadi sering banget ini terjadi dalam proses berkarya aku, itu banyak hal-hal spontan. Misalnya dalam setiap residensi, pameran itu kebetulannya, pasti ada satu hal yang belum pernah aku lakukan. Nah, di Jakarta Biennale 2015 itu ada satu hal yang belum aku lakukan adalah mengerjakan mural itu. Nah, kebetulannya display zine yang saya kerjakan bersama Sanggar Anak Akar, waktu itu dia punya satu dinding kosong di belakangnya yang tidak tahu mau diapakan. Nah, kemudian saya berinisiatif.. “baik mari kita mural saja dengan sketsa yang tadi saya bikin di atas kertas, dipindahkan ke tembok,” nah kebetulannya mural itu berhasil. Itu memang mural pertama aku di situ. Sejak itu aku jadi tahu ini akan jadi disiplin aku yang baru, medium baru. Dan akhirnya saya berkarya dengan medium itu sekarang, ternyata memang mural itu dia punya keistimewaan sendiri bagaimana ia menjadi titik temu berbagai dialog. Ketika mereka berhenti di depan karya itu. Ya, kayak bisa berbicara dengan audiensnya. Dalam versi yang besar sekali dan itu moment yang aku sukai dalam medium ini.
TF : Ya, jadi kan memang Nica memiliki perubahan medium yang jelas. Bisa diceritain nggak, apa sih.. ya, kalau memang harus dibedakan bedanya berkarya di medium kertas dan tembok itu sendiri, mungkin juga pada tantangan dan kesulitannya?
Nica : Jadi, aku pikir sebagai seniman memang kalau secara personal, aku suka bereksperimen dengan berbagai macam medium. Jadi melihat setiap medium itu bekerja. Ketika kita menemukan titik kenyamanan di antara berbagai medium itu, dan kita tetap bisa mengemas pesan yang mau kita kasih ke audiens, itu rasanya luar biasa. Jujur saja, itu salah satu hal yang sangat saya sukai dari pekerjaan saya sekarang. Bagaimana setiap media itu kita taklukkan, dan kita masih bisa kasih pesan pada penonton kita. Kalau tantangannya banyak sih, kalau kertas kan mediumnya lebih kecil dan ketika dipindahkan ke mural, kadang-kadang dia tidak sebagus ketika digambar di kertas. Jadi harus banyak modifikasi ke dindingnya, dan itu banyak terjadi ketika aku berkarya.
—
“Aku menemukan bahwa, kadang-kadang humor itu adalah bentuk perlawanan yang paling oke.”
—
TF : Kertas itu kan sifatnya lebih personal, dan individual, dan ketika kita berkarya di dinding itu kan publik gitu, bagaimana sih Nica mengatasi itu dan melihat ini?
Nica : Kalau aku sih nggak mau ambil pusing dalam hal ini, yang penting selama karya itu punya pesan yang bagus yang positif untuk audiensnya, ya mau mediumnya apa aja mediumnya akan ngikut sama konsepnya, jadi, ketika berkarya pakai video, buku, atau apa pun yang lebih penting itu adalah idenya.
TF : Terus bagaimana proses berkarya di Tenggara Street Art Festival ini, kan Nica bikin karya yang lumayan tinggi. Bisa diceritakan tentang karyanya di Tenggara ini?
Nica : Seperti yang aku katakan tadi ya, setiap residensi itu memberikan sesuatu atau inside yang berbeda. Nah, itu terjadi juga di Tenggara. Jadi, ini pertama kali aku ke Sumatera Barat, terus selama perjalanan itu banyak sesuatu yang belum pernah aku lihat. Salah satunya ketika aku dan teman-teman melewati tikungan Sitinjau Lauik yang terkenal itu. Sering banget ketika aku berkarya, munculnya ketika aku melamun. Ya, sederhana saja ketika melihat jalan dari jendela. Dan itu terjadi juga ketika aku melihat Sitinjau Lauik. Makanya judul karya yang aku taruh dimural aku yang tadinya komik aku bikin dulu di kertas. Judulnya adalah “Siasat Baru Anak-anak Lauik”, bagaimana aku melihat teman-teman di Gubuak Kopi ini merupakan representasi dari anak muda di Solok, yang memiliki ide-ide segar untuk membangun kebudayaan di kota ini. Dan itu menyenangkan sekali. Ya, meskipun residensi yang singkat. Tapi, mengapa tidak membuat karya yang maksimal, hahaha. Dan mural ini adalah mural tertinggi yang pernah aku kerjakan selama berkarya, sejak tahun 2015. Sejak pertama kali bikin mural. Aku harus bilang ini, aku salut sekali sama teman-teman yang art handling acara ini, keren banget. Mereka bisa memastikan setiap pijakan yang jadi tempat aku mural dari bawah sampai atas itu aman, dan semua orang di sini responsif, dan aku sangat menghargai itu. Karena aku pikir seniman tanpa artisan, tanpa art handling yang baik tidak akan jadi. Terima kasih, I Love U, haha.
TF : Awalnya kenapa sih mau ikutan Tenggara Festival ini.?
Nica : Sedikit cerita, aku lupa, mungkin tahun 2015 aku punya motivasi untuk bisa melakukan perjalanan kecil di sepanjang Sumatera. Dan ini adalah pertama kali, melihat segala sesuatu yang belum pernah aku lihat di Jawa, di rumah. Selain itu memang Albert Rahman Putra (Artistic Director Tenggara Street Art Festival) pengen aku bisa membawa konsep lokakarya zine untuk remaja-remaja yang ada di Solok, dan juga membuat mural yang dikerjakan di salah satu bangunan yang ada di sini. Jadi aku sangat bersemangat sekali.
TF : Selain mural kan ada workshop tuh, itu gimana?
Nica : Ya ampun, aku senang banget, karena aku harus bilang remaja-remaja itu, tulisannya bagus-bagus sekali. Dan kemarin juga salah satu workshop terbaik yang pernah aku lakukan bersama remaja. Jadi banyak gagasan, kisah dan cerita baru dari mereka. Ada yang pengen jadi, ahli sejarah, seniman, guru dan banyak cerita baru yang menyenangkan. Nah, dan ada yang mau jadi intel juga. Menarik.
TF : Sebenarnya, sering ya Nica bikin workshop, nah menurut Nica sendiri workshop itu sendiri apa sih?
Nica : Ya, ketika aku membuat zine yang sesuatu yang personal yang mungkin aku tidak akan menerbitkanya, sampai serius dalam hal ini. Hingga saya merasa saya harus bertanggung jawab pada karya saya, dalam konteks sebagai seorang seniman. Dan bagaimana seorang seniman itu bisa memproduksi bentuk-bentuk pengetahuan baru bagi generasi-generasi muda, yang melandasi semangat saya melakukan lokakarya zine itu. Dan memang ketika saya melakukan lokakarya sifatnya memang personal. Bagaimana saya mendengar kisah-kisah yang sederhana, bagaimana pun sedikit ingin menginspirasi anak-anak muda bahwa ada bentuk-bentuk media lain yang sifatnya tidak monolog tapi bagaimana kita bisa berdialog dengan zine. Ketika pengetahuan itu terbebas dari pengetahuan seorang seniman, ke generasi yang muda, yang lebih punya cara berbeda dalam melihat sebuah karya, dia tumbuh menjadi sesuatu yang baru.
TF : Nah, kan Nica sempat ngobrol tentang skena atau gerakan seni di Solok, selama berkegiatan di Tenggara Festival ini, nah Nica juga pernah mengalami juga di Semarang dan Yogyakarta. Boleh cerita sedikit gak, bagaimana skena seni lewat medium-medium seni yang Nica tekuni, nah kalau di sana itu bagaimana?
Nica : Iya, aku itu besar di Semarang dan selama 20 tahun, dan sekarang tinggal di Jogja sudah 3 tahun. Tapi, di antara perjalanan saya di Semarang dan Jogja itu, saya juga terkoneksi dengan zine maker berbagai kota. Di Semarang itu proses apresiasi audiens terhadap seorang kreator itu cukup tinggi, meskipun tidak banyak kreatornya, tapi apresiatornya banyak. Kemudian saya mencoba untuk bisa melihat bagaimana hal-hal bagus bisa ditambahkan dalam scena ini di Semarang dan apa-apa saja yang harus dikurangi, dari kacamata kota yang lain. Ketika saya di Jogja saya melihat ekosistem seni yang sama sekali berbeda. Tapi, tidak hanya di Jogja juga, saya juga pergi ke Jakarta untuk melihat industri yang sama sekali berbeda. Jadi, bagaimana setiap kota itu mengasih kekhasan pengetahuan yang baru buat saya.
TF : Nica kan berkarya lebih ke individual ya, bersama kolektif itu, Nica bisa ceritakan, bagaimana strategi dalam berkarya sebagai seniman individu terlepas dari kolektif gitu, bisa ceritain. Mungkin keterkaitannya juga dengan situasi pandemi yang mempengaruhi proses berkarya banyak seniman saat ini?
Nica : Dari awal memang memutuskan untuk jalan sendiri, dan saya sebetulnya seorang introvert. Tapi tidak menutup kemungkinan untuk berkolaborasi dengan siapa saja. Sebetulnya apa sih yang penting dari proses berkolaborasi itu? adalah bagaimana kita bisa bersahabat dengan semuanya. Ya, dengan semangat yang sama saya pikir tidak masalah saya jalan sendirian. Ya, kalau pandemi tidak masalah, justru lebih banyak waktu untuk melamun. Bukan berpikir kosong, tapi seperti membayangkan sesuatu yang belum ada sekarang. Kita lebih banyak waktu untuk di rumah, jadi aku pikir tidak terlalu bermasalah dengan itu, bikin karya mah, jalan terus.
TF : Teman-teman yang di Rumah Tamera ini, Nica melihatnya gimana?
Nica : Aku itu selalu kagum sama anak-anak baru yang menginisiasi satu hal yang belum pernah ada dalam konteks sebuah kota. Seperti halnya aku melihat (Komunitas) Histeria dulunya, ada beberapa hal yang kemudian aku lihat juga di Rumah Tamera, semangatnya, disiplinnya, inisiatifnya dan ketekunannya. Aku rasa keempat itu adalah hal yang sangat penting, yang akan membawa kamu ke hal-hal bagus kedepannya. Aku yakin Rumah Tamera ini menjadi titik temu banyak sekali seniman dengan gagasan baru dengan ide-ide yang luar biasa. Meskipun masih ada sedikit kekurangan tapi aku pikir tidak masalah, kita masih bisa tumbuh bersama-sama.
TF : Kedepannya lagi ada rencana berkarya apa sih, kasih bocorannya dong?
Nica : Bocorannya adalah, saya lagi menyelesaikan project buku kedua saya. Jadi, doakan saja agar selesai tidak seratus tahun lagi, hahaha. Saya juga bikin komik judulnya nama Nica Comica, dan di buku kedua ini akan lebih banyak fokus ke komik, karena yang pertama sastra dan komik, nah ini komik aja. Selain itu masih banyak fokus pada kerja-kerja budaya dan seni, mural penulisan dan bertemu sama kolektif-kolektif dan seniman yang bisa bertukar pikiran.
TF : Tapi, Nica atau Autonica itu sendiri brand kah atau apa sih?
Nica : Mungkin itu bisa menjadi gabungan di antara semuanya, dan bagaimana aku merepresentasikan diri aku ke publik. Tapi sebetulnya aku butuh sesuatu penamaan yang kiranya mudah diingat untuk audiens aku. Terus aku pikir Nica sepertinya cool, haha.
TF : Tapi kan Autonica itu udah jadi brand kan?
Nica : Haha, iya tapi jujur itu sebetulnya merek mobil, tapi nggak masalah. Awalnya karena aku suka yang lucu-lucu, yang cute yang robotik gitu, dan kayaknya Autonica ok sih, haha. Dan akhirnya saya terus memakai nama itu dan orang-orang banyak yang ingat nama itu dari pada nama asli.
TF : Kenapa sih suka yang “cute-cute” gitu?
Nica : Jadi, aku itu selalu merasa bahwa, aku ingin menciptakan sebuah cara perlawanan yang bisa meruang dalam setiap hati semua orang. Jadi sebetulnya, aku punya istilah “cuteness and destroy” bagaimana aku melawan dunia tapi dengan cara yang paling imut dan jenaka. Aku menemukan bahwa, kadang-kadang humor itu adalah bentuk perlawanan yang paling oke.
TF : Oke, terima kasih Nica..
Nica : Terima kasih juga Anggra dan Teko
–
Transkrip: Biahlil Badri
Mampir ke halaman portofolio Autonica di Tenggara Festival 2020