Siasat Baru Persahabatan Tembok
Imutisme, sesuatu yang menurutnya imut, adalah sebutan Nica pada caranya berkarya, berjejaring, dan untuk menebar kegembiraan. Keimutan ini digambarkan dengan garis/karakter yang ia gunakan dalam karyanya, berupa sketsa seperti kartun dan komik. Garis itu menjadi karakter setiap kalinya ia berkarya dalam berbagai media dan skena yang ia temui sebelumnya. Ia tetap sebagai imuter.
Autonica, seniman perempuan asal Yogyakarta, berkesempatan menjadi salah satu seniman yang berpatisipasi dalam program residensi di Tenggara Street Art Festival 2020 ini. Ia datang lebih awal dari seniman residensi lainnya ke Solok. Karya-karya gambar dan tulisannya memiliki karakter yang khas. Dalam Tenggara Street Art Festival, ia adalah seorang street artist, meskipun ia juga seorang penulis dan zinemaker. Nica mulai membuat zine pada tahun 2011. Di saat yang bersamaan, ia juga berkegiatan dengan Hysteria di Semarang. Dan pada tahun 2013, ia menjadi pemateri workshop membuat zine pertama di Hysteria. Menurutnya, saat ini ia baru saja menumbuhkan kaki dalam skena seni visual.
Ia memilih Gedung Olah Raga (GOR) di Tanjung Paku Kota Solok untuk muralnya, meskipun sebelumnya ia sempat ditawari mural di salah satu dinding yang cukup menarik perhatian di Terminal Angkot Kota Solok. Dengan beberapa alasan yang tidak memungkin untuk ini, kita menawarkan lokasi mural yang cukup dekat dari terminal.
Selain untuk olah raga, biasanya ruang ini juga menjadi tempat aktivitas lainnya; ruang bermain bagi anak-anak sekitar, meskipun sekarang belum begitu ramai, dan ruang ini juga digunakan untuk berlatih bela diri karate. Karya yang dekat dengan karakter anak, imut dan jenaka itu, ia munculkan dalam karyanya. Tidak selalu di dinding atau media yang biasa digunakan untuk mural, ia lebih senang bereksperimen di berbagai media, seperti kertas, dinding, triplek, kanvas digital dan tradisional. Dan meskipun ia pernah bilang, “Aku tu dulu, sebetulnya cetak digital banget…”.
Sesuatu yang baru akan selalu ada di setiap residensi, menurutnya ruang sekitar memengaruhi sekali dalam sketsa yang ia buat. Saya ngobrol banyak hal dengan Nica di Taman Pramuka (lokasi camping Tenggara Street Art Festival). Salah satunya adalah tentang karyanya sendiri di dinding GOR. Dinding dengan ketinggian 9 meter dan lebar 4 meter ini adalah dinding terbesar yang pernah ia mural.
Membuat karya berdasarkan pengalaman pribadi dan apa pun yang ada di sekitarnya adalah landasan karyanya. Karena setiap visual yang ia munculkan itu selalu terjadi di tempat. Begitu juga dengan “Siasat Baru Anak-anak Lauik”. Ia menghadirkan beberapa panel yang isinya kurang lebih menghadirkan cerita: dia, perempuan asal semarang, berdomisili di Jogja, mendarat di Kota Padang, dan hadir di Solok untuk Tenggara Street Art Festival. Selain itu, menurutnya penting untuk memunculkan rasa keakraban serta memperpendek jarak antara seniman dan audience. Karya-karyanya sangat personal dan dekat dengan isu lokasi.
“Ketika gue melihat lu, lu adalah karya gue, gitu.” ungkapnya.
Karyanya seperti komik. Dalam panel Siasat Baru Anak-anak Lauik ini ia menghadirkan beberapa kolom, menghadirkan sketsa Albert Rahman Putra (Ketua kelas Komunitas Gubuak Kopi), sebagai motor dan mengelola bagaimana Gubuak Kopi berjalan. Panel selanjutnya adalah pengalaman yang ia temukan pertama kali datang ke Rumah Tamera. Ia menghadirkan Ayang Pus (nama salah satu kucing peliharaan Rumah Tamera), dan juga bentuk kita berkolektif di Gubuak Kopi maupun Rumah Tamera juga ia munculkan dalam penel ke-3. Di panel ke-4 adalah sketsa bentuk Rumah Gadang, yang ia gambarkan sebagai penanda lokasi. Selanjutnya ada teks Gubuak Kopi dan Tenggara. Lalu, pada panel bawah sebelah kirinya, ia memunculkan karakter anjing-anjing yang pernah ia lihat berlalu lalang dan mampir di lingkungan Rumah Tamera. Dan panel paling akhir, ia memperlihatkan proses yang sedang berlangsung, seperti menulis, membuat sketsa, dan proses lainnya, dan juga sepasang mata, yang ia tafsirkan sebagai apa saja yang pernah ia lihat melalui mata.Di luar panel, ia juga menghadirkan sketsa dirinya dan juga anak-anak, sebagai ide tentang mewariskan pengetahuan. Di sebelahnya juga terlihat nama-nama kota yang ia singgahi ketika menuju Solok ini: Semarang-Yogyakarta-Jakarta-Padang.
Sebelum mural di GOR, ia kami undang untuk mengisi materi workshop. Membuat zine pada program Remaja Bermedia, sebuah platform untuk pendidikan literasi media remaja. Di workshop ini, ia juga mendengar cita-cita yang menurutnya adalah keren. Ya, memiliki cita-cita yang tidak semuanya sama. Ada yang ingin menjadi seniman, intel, pelukis dan lainnya.
Siasat Baru Anak-anak Lauik sebetulnya juga representasi dari kesan yang ia rasakan dalam melihat Gubuak Kopi sebagai kelompok anak muda yang memberi kesegaran ide dalam konteks membangun kotanya sendiria dengan menciptakan karya-karya dan program-program kreatif untuknya dan Solok.
Pada dasarnya, Solok adalah kota kecil di perbukitan barat Sumatra. Namun menarik melihat kata-kata “lauik” muncul di sana. Lauik adalah Bahasa Minangkabau yang berarti laut. Dan salah satu alasannya kenapa ia memilih kata ‘lauik’, karena kata itu sangat puitis, ya hanya karena itu saja. Tentang mural pertamanya dengan ukuran besar, hinga Nica juga menceritakannya pada mamanya. Karena ini adalah dinding tertinggi pertama yang ia kerjakan.
Sesuatu yang selalu ia rasakan ketika melihat tembok atau dinding adalah seperti sebuah ketakutan. Ketakutan kita sebagai manusia, ketakutan yang alamiah, sesuatu yang tidak terbaca dan sesuatu yang mesti ia taklukkan. Menurutnya dengan merespon ketakutan itu dengan karya adalah cara untuk menaklukkannya. Memilih untuk bersahabat dengan ketakutan dan mengajaknya untuk berdiskusi. Begitu juga pada sekitar, kita akan kehilangan banyak hal jika tidak menggunakan ‘bahasa’ yang sama dengan mereka.
Obrolan itu, menghantarkan pembicaraan kepada kesukaannya tentang dunia psikolog, sejarah, dan dongeng. Ia juga meceritakan kesukaannya pada ide karya yang berempati, memberi ruang pada hal-hal kecil dan alternatif. Lalu orang bisa melihat apa di karyanya. Karya yang berdampak. Dan pada karya Nica kita melihat itu ada dan berpengaruh. Tidak menyukai ruang sekolah dalam bentuk institusi formal yang menurutnya adalah perlombaan.
Sempat berada dalam aktivitas yang sama dengan skena Punk, yang waktu itu mereka sangat rajin sekali membuat zine, rapi dan terstruktur yang bisa mereka produksi setiap minggunya. Semangat inilah yang ia adaptasi dalam pembawaannya yang senang pada hal-hal yang ‘lucu’, yang ia sebut imutisme.
“kita akan kesulitan ngerjain karya yang bagus tanpa ada art handler, artisan, dan lainnya bekerja dengan baik. Makanya aku bilang, yang bantuin aku gak boleh sakit, capek, dan segala macam”. Kalimat ini muncul hampir setiap kali saya menemani dia di lokasi muralnya.
Mendekati lingkungan dengan apa yang kita miliki, atau memiliki apa yang lingkungan punya untuk berdialog adalah cara yang baik untuk akrab. Menjadi siapapun, dimana pun adalah tidak jauh dari memberi kesan atau sebaliknya. Dalam berkarya hal ini menjadi sesuatu yang penting atau bertujuan untuk itu sekalipun. Saya mengira Nica adalah seniman visual yang menggunakan keduanya dalam berkarya. Ia memunculkan sekitar karena ia melihatnya. Melihat sekitar lalu memunculkan apa yang dilihat oleh ‘mata’. Tapi tetap saja kita tidak bisa menanggalkan identitas ketika melihat dan lalu menyebutkannya atau menafsirkannya kembali. Imutisme itu ia tinggalkan untuk tetap hidup di Solok.
–